Rabu, 12 Agustus 2020

ASWAJA


MATERI PENDIDIKAN KE-NU-AN

BAB I

SEJARAH ORGANISASI NAHDALATUL ULAMA

A. MOTIFASI KELAHIRAN NU

Pada tahun 1914 KH. Abdul Wahab Hasbullah pulang dari Mekkah setelah bertahun-tahun belajar di sana. Beliau terkenal ulama yang sangat dinamis dan mempunyai cita-cita untuk mempersatukan umat Islam dalam suatu perkumpulan / organisasi keagamaan. Untuk mewujudkan hal itu, beliau menggandeng ulama yang sangat Kharismatik, yaitu KH. Hasyim As’ary Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang (JATIM).

Kedua Ulama ini mencoba untuk mengorganisir dan memberi wadah serta mempersatukan umat Islam (tradisionalis) di Indonesia . Untuk mewujudkan hal tersebut ditempuh langkah-langkah :

Pada tahun 1916 Kyai Wahab mendirikan Madrasah “Jam’iyatul Nahdlotul Wathon “ di Surabaya. Madrasah ini berkembang dengan pesat dan membuka cabang di Semarang, Malang, Sidoarjo, Gresik, Lawang, Pasuruan, dan lain-lain.

Pada tahun 1919 berdiri TASWIRUL AFKAR”, sebuah madrasah dan forum diskusi keagamaan yang tujuan utamanya memberi tempat untuk mengaji dan belajar serta untuk membela kepentingan Islam.

3. Pada tahun 1924 berdiri organisasi “Syubhanul Wathon (pemuda tanah air), organisasi ini mempunyai kegiatan membahas masalah agama, dakwah, peningkatan pengetahuan bagi anggotanya, dan lain-lain.

Pada tahun 1926 akan disenggarakan Kongres Islam sedunia di Makkah yang diikuti perwakilan dari organisasi-organisasi Islam di dunia. Pada tanggal 16 Rajab 1344 H / 31 Januari 1926 KH. A. Wahab Hasbullah membentuk suatu komite yang bernama Komite Hijaz yang beranggotakan para alim ulama dari berbagai daerah guna mengikuti Kongres tersebut. Dalam rapat/sidang komite hijaz tersebut memutuskan dua hal, yaitu :

Meresmikan dan mengukuhkan Komite Hijaz dengan masa kerja samapai delegasi yang akan dikirim menemui Raja Ibnu Saud dan mengirim delegasi ke Kongres Islam di Makkah. Adapun yang dikirim ialah KH. Wahab Hasbullah dan Syeikh Ahamad Ghunaim al Mishri.

Membentuk sebuah Jam’iyyah (organisasi) yang bernama NAHDLATUL ULAMA’. Denggan tujuan untuk membina terwujudnya masyarkat Islam berdasarkan aqidah atau faham Ahlusunnah wal Jama’ah (ASWAJA).

Mayoritas anggota NU berada di Jawa, khususnya JATIM, sepanjang pantura JATENG, Cirebon, dan Banten. Adapun diluar Jawa meliputi : Banjar (KALSEL) ,Batak Mandailing (SUMUT), Bugis (SULSEL), Sasak dan Sumbawa (NTB). Cabang tersebut beridri pada kurun waktu 1930-1940. Kiprah NU yang paling menonjol ialah dibidang pendidikan, jumlah madrasah meningikat pesat pada waktu 1920-1930-an. Unt6uk mengkoordinasikan kegiatan pendidikan tersebut dibentuk Lembaga Pendidikan Ma’arif pada tahun 1938.


B. TOKOH-TOKOH PENDIRI NU

Adapun tokoh besar pengurus NU ialah :

  • KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947) Jombang
  • KH. Abdul Wahab Hasbullah (1888-1971) Jombang
  • KH.Bisyri Sansoeri (1886 – 1962 ) Jombang
  • KH. Ridwan Abdullah (1884 -1962) Semarang
  • KH. Asnawi (1861-1959) Kudus
  • KH. Ma’sum (1870-1972) Lasem
  • KH. Nawawi, Pasuruan
  • KH. Nahrowi, Malang
  • KH. Alwi Abdul Aziz, Surabaya

C. NAMA DAN LAMBANG NU

Nahdlatul Ulama adalah organisasi social keagamaan (Jam’iyyah Diniyah Islamiyah) yang berhaluan (faham) Ahulusunnah wal Jamaah. Secara harfiah terdiri dari kata Nahdlah : Bangkit/Kebangkitan dan ‘Ulama : Orang-orang yang ahli agama, Jadi Nahdaltul Ulama berarti kebangkitan para alim-ulama. Nama NU disusulakan KH. Alwi Abdul Aziz dari Surabaya.

Lambang NU berupa :

Gambar bola Dunia atau Bumi yang mengingatkan manusia itu berasal dari tanah dan kembali ke tanah.

Dilingkari Tali Tersimpul yang melambangkan ukhuwah atau persatuan, dan ikatanya melambangkan hubungan dengan Allah SWT.

Dikelilingi sembilan Bintang,

– Lima bintang di atas katulistiwa, satu bintang besar melambangkan Nabi Muhammad SAW, sedangkan empat bintang dibawahnya melambangkan empat shahabat (khulafaur rosidin).

– Empat bintang di bawah garis katulistiwa, melambangkan empat madzhab.

– Disamping itu jumlah seluruh bintang sembalian juga melambangkan wali songo.

Jadi Nabi SAW, Shahabat, Imam Madzhab, dan wali songo yang akan memberikan sinar dan petunjuk jalan yang benar.

Tulisan Nahdlatul Ulama dalam huruf Arab yang melintang dari sebelah kanan bola dunia.

Semua jenis lambing tersebut dilatarbelakangi warna putih di atas warna hijau. Warna putih melambangkan kesucian dan warna hijau melambangkan kesuburan. Lambang ini diciptakan oleh KH. Ridwan Abdullah dari Surabaya setelah beliau melakukan shalat Istikharah.

BAB II

STRATEGI DAN PENYEBARAN ISLAM

DI INDONESIA


A. STRATEGI DAKWAH ISLAMIYAH

Islam dalah agama yang membawa rahmat kepada seluruh alam semesta, bukan hanya umat Islam semata. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT …

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.”

Dalam mengemban dakwah Islamiyah, para Da’i atau Mubaligh tidak menempuh jalan kekerasan, namun lebih memilih jalan damai. Metode dakwah dengan jalan kekerasan hanya akan memimbulkan dampak negatif baik dari segi Da’i maupun dari segi dakwah Islamiyah itu sendiri.

Karena tugas dakwah adalah tugas setiap umat Islam, maka kegiaytan dakwah Islamiyah dilaksanakan oleh semua pihak dengan berbagai kegiatannya masing-masing. Para pedagang melaksanakan dakwahnya dalam kegiatan perdagangan, para seniman melaksanakan dakwahnya dalam kegiatan seni dan budaya, dan para penguasa (pemimpin) melaksanakan dakwahnya dalam kegiatan pemerintahan.

DAKWAH MELALUI KEGIATAN PEREKONOMIAN

Salah satu proses Islamisasi di Indonesia melalui jalur perdagangan, hal ini sesuai dengan kesibukan jalur perdagangan di selat Malaka pada abad 7-12 M. Para pedagang Arab mempunyai peranan yang penting dalam aktfitas perdagangan Timur-Barat.Kegiatan perdagangan tersebut digunakan untuk berdakwah dan berinteraksi dengan para penguasa setempat. Keuntungan lainya ialah status social yang tinggi para pedagang, dengan menduduki golongan elit tersebut dapat dimanfaatkan untuk berdakwah di pusat-pusat pemerintahan.

C. DAKWAH MELALUI KEGIATAN SENI BUDAYA

Selain perdagangan, para mubaligh Islam juga menggunakan bentuk-bentuk seni dan budaya sebagai media dakwah. Cara ini lebih mengutamakan isi daripada bentuk lahiriyah dan mudah menarik simpati rakyat sehingga mudah pula merek masuk Islam.

Bentuk-bentuk seni dan budaya yang digunakan sangat beragam, ada yang memanfatkan yang sudah ada namun ada yang memunculkan hal yang baru. Cabang seni yang popular digunakan adalah Wayang, Gamelan, Gending, dan seni ukir.

Inisiatif penggunaan Wayang adalah Sunan Kalijaga dengan memodifikasi bentuk dan isi ceritanya. Di dalamnya diselingi gending-gending yang berupa syair-syair yang berisi ajaran agama, pendidikan, dan falsafah kehidupan. Budaya yang masih dipeertahankan sebagai media dakwah ialah Kenduri dan Selametan, dimana niat dan isinya diubah dan diaganti nilai-nilai keislaman.

D. DAKWAH MELALUI PERKAWINAN

Beberapa factor yang mendorong terjadinya perkawinan pendatang muslim dan wanita setempat, antara lain :

Karena Islam tidak membedakan status masyarakat.

Kebutuhan biologis, para pedagang biasanya tidak membawa istri dalam muhibahnya. Para pribumi juga membiarkan perkawinan anak-anakya dengan pedagang muslim untuk memperoleh status social dan ekonomi yang kuat.

Faktor politik, dengan menikahi putri bangsawan maka akan meningkatkan status social dan ekonomi sehingga memudahkan untuk berdakwah.

Melalui perkawinana ini nantinya akan membentuk inti masyarkat muslim yang menjadi titik tolak perkembangan Islam di Indonesia.

E. DAKWAH MELALUI POLITIK DAN PEMERINTAHAN

Berdakwah dilakukan pula di lingkungan kerajaan, sasaran utamanya adalah para raja, keluarga raja, da para pembesar kerajaan. Tujuan utamanya adalah apabila sang raja telah masuk Islam, maka rakyatnya akan setia mengikutinya.

Di antara para tokoh yang berhasil ialah Syeikh Ismail yang berhasil mengislamkan Merah Silu (Malikus Shaleh raja Samudra Pertama). Di Jawa; Raden Rahmatullah (Sunan Ampel) berhasil berdakwah di lingkungan kerajaan majapahit. Walaupun prabu brawijaya tidak mau masuk Islam, namun Sunan Ampel diberi kebebasan untuk berdakwah sampai ia mendirikan Pesantren di Randukuning Surabaya yang bernama Ampel Dento .

Salah satu kader Sunan Ampel adalah Raden Patah, beliau adalah putra Brawijaya V dari ibu Dharawati. Pada tahun 1462 Raden Patah diangkat menjadi adipati Bintoro (Demak), meskipun demikian beliau tetap berdakwah dan mendidik para santri di pesantren Glagahwangi. Demak berkembang dengan pesat, selain sebagai pusat pemerintahan tetapi juga sebagai pusat dakwah Islamiyah dan berkumpulnya para wali songo. Di Kota ini para wali mendirikan sebuah masjid agung pada tahun 1468 M. Melalui musyawarah para Wali maka Raden Patah diangkat menjadi Sultan di Demak, sejak saat itu berdirilah kerajaan Islam di Jawa, yaitu kerajaan Demak.

Dengan berdirinya kerajaan (pemerintahan) Islam, maka penyebaran Islam akan lebih kokoh, sehingga Islam berkembang dengan pesat di Indonesia.


PONDOK PESANTREN

A. LATAR BELAKANG BERDIRINYA PONDOK PESANTREN

pesantren merupakan “Bapak” dari pendidikan Islam di Indonesia, dimana bila di tinjau dari segi sejarah dilahirkan atas kesadaran kewajiban dakwah Islamiyah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran islam, sekaligus mencetak kader-kader ulama.

Pondok adalah rumah atau tempat tinggal sederhana, disamping itu kata “Pondok” berasal dari bahasa Arab “Funduq” yang berarti asrama. Sedangkan Istilah pesantren berasal dari kata Shastri (India) yang berarti Orang yang mengetahui kitab suci (Hindu). Pesantren sendiri menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri. Dalam bahasa Jawa mnejadi Santri dengan mendapat awalan Pe dan akhiran an menjadi Pesantren :Sebuah pusat pendidikan Islam tradisional atau pondok untuk para siswa sebagai model sekolah agama di Jawa.

Di Aceh Pesantren disebut : dayah, Rangkang, eunasah. Pasundan disebut Pondok, dan di Minangkabau disebut Surau. Pimpinan pesantren tertinggi (Pengasuh) disebut Kyai (jawa), Tengku (Aceh), Datuk atau Buya (Minangkabau), Abah/Ajengan (Sunda).

Tokoh yang pertama mnedirikan pesantren adalah Maulana malik Ibrahim (w. 1419M), beliau menggunakan Masjid dan pesantren untuk pengajaran ilmu-ilmu agama yang akhirnya melahirkan tokoh-tokoh wali songo. Pada taraf permulaan bentuk pesantren sangat sederhana, keiatan pendidikan dilakukan di masjid dengan beberapa santri. Ketika Raden Rahmad (Sunan Ampel) mendirikan pesantren (Ampel Dento) hanya memiliki tiga orang santri. Para santri yang telah selesai belajarnya di Pesantren Ampel Dento kemudian mendirikan pesantren baru. Salah satunya adalah Raden Paku (Sunan Giri) yang mendirikan Pesantren d desa Sidomukti, Gresik yang bernama Giri Kedaton.

Pesantren Giri Kedaton memiliki santri dari berbagai daerah, seperti jawa, Madura, Lombok, Sumbawa, Makasar, Ternate, dan lain-lain. Setiap santri kemudian mendirikan pesantren di daerahnya masing-maisng dengan demikian pesantren dapat berkembang dengan pesat.

Berdasarkan sejarah berdirinya, maka tujuan berdirinya pesantren ialah :

Sebagai lembaga pendidikan keagamaan dan pembentuk kader-kader ulama

Sebagai benteng pertahanan dan pengawal bagi keberlagsungan dakwah Islamiyah di Indonesia.

B. FUNGSI DAN PERAN PESANTREN DALAM PENYEBARAN ISLAM

Fungsi utama pondok pesantren ialah sebagai lembaga pendidikan keagamaan dan pusat dakwah islamiyah. Pada masa penjajahan Pesantren merupakan pendidikan menanamkan sikap patriotisme dan basis perjuangan untuk melawan penjajah.

Tradisi pesantren memiliki sejarah panjang. Oleh karena itu, situasi dan peranan Pesantren dewasa ini harus dilihat dalam hubungan perkembangan Islam jangka panjang, baik di Indonesia maupun di negara-negara Islam pada umumnya.

Sesuai dengan perkembangan jaman maka pondok pesantren saat ini dilengkapi dengan ilmu-ilmu umum dan berbagai ketrampilan. Hal ini untuk membekali para santri agar tidak gagap dengan perkembangan IPTEK dan dapat berperan aktif dalam masyarakat luas.

Pendidikan di Pesantren bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan (transfer of knowliege) tetapi juga transfer nilai (transfer of value), sehingga akan mampu mencetak santri yang menguasai ilmu-ilmu agama, mengamalkan ilmunya dengan ikhlas, dan menjadi orang yang sholeh apapun profesinya.

C. METODE KAJIAN YANG DILAKUKAN DI PESANTREN

Proses pendidikanya berlangsung 24 jam, dimana terjadi hubungan antara Kyai dan santri, santri sesame santri yang berada dalam satu kompleks (masyarakat belajar).

Setidaknya ada tiga jenis ilmu keislaman yang secara istiqomah diajarkan di pesantren, yaitu : Aqidah (Kalam), Fiqh (Syari’ah), dan Akhlaq (tasawuf). Ketiga ilmu tersebut digali dan dipelajari dari sumber kitab-kitab salaf (kitab kuning) yang disusun oleh para ulama Ahlusunnah wal Jama’ah.

Sistem pembelajaran di Pesantren meliputi :

Sorogan, Kyai/Ustadz mengajar para santri satu persatu, tanpa membedakan umur dan jenjang pendidikan.(kelas). Contoh : sorogan Qur’an, sorogan Kitab dan lain-lain.

2. Bandungan, Kyai/Ustadz mengajar para santri secara bersama-sama tanpa membedakan umur dan kelas. System ini biasanya dilakukan pada waktu tertentu dan pada materi tertentu, seperti pengajian akhlaq, Hadits, Pengajian Romadlon, dan lain lain.

3. Madrasy / Kalsikal, system pembelajaran dengan cara klasikal, para santri dikelompokan sesuai umur dan tingkat kemampuannya. Dalam pendidikan Pesantren dikenal jenjang pendidikan yaitu :Awaliyyah, Wustho, Ulya, Ma’had ‘Ali.

Berdasarkan system pembelajarannya, maka pesantren dapat dikelompokkan :

Pesantren Al Qur’an, Pesantren yang secara khusus mempelajari Al Qur’an dan mencetak para Hafidz fdan Hafidzah.

Pesantren Kitab, Pesantren yang secara khusus mempelajari ilmu-ilmu fiqh

Pesantren Alat, pesantren yang secara khusus mempelajari ilmu-ilmu Bahasa Arab, seperti ilmu Nahwu, Shorof, dan lain-lain.

Sedangkan tipe secara umum pesantren adalah :

Pesanten Salafiyyah, Pesantren yang tidak menyediakan pendidikan formal, sehingga para santri hanya khusus belajar di pesantren. Pesantren Salafiyah secara khusus mempelajari satu bidang keilmuan, seperti fiqh, Hadits, atuapun ilmu alat.

Pesantren Modern, Pesantren yang menyediakan pendidikan formal, sehingga para santri selain belajar di pesantren juga menempuh pendidikan formal.

Pesantren Perpaduan , Pesantren yang menyediakan pendidikan formal, tapi dalam system pembelajaranya juga mengikuti system Salafiyyah.

D. HAL-HAL YANG MENJIWAI DI PESANTREN

Sebagai lembaga Tafaqquh fiddin (memperdalam agama) pondok pesantren mempunyai jiwa yang membedakan dengan lembaga-lembaga pendidikan lainya. Jiwa pondok pesantren tersebut dinamakan “Panca Jiwa Pesantren”, yaitu :

Jiwa keikhlasan , jiwa ini terbentuk oleh suatu keyakinan bahwa semua perbuatan (baik atau buruk) pasti akan di balas oleh Allah SWT, jadi beramal tanpa pamrih tanpa mengahrapkan keuntungan duniawi.

Jiwa Kesederhanaan, sederhana bukan berarti pasif tetapi mengandung unsur kekuatan dan kaetabahan hati serta penguasaan diri dalam mengahadapi dalam mengahdapi segala kesulitan.

Jiwa Persaudaraan yang Demokratis, segala perbedaan dipesantren tidak menjadi penghalang dalam jalinan ukhuwah (persaudaraan) dan Ta’awun (saling menolong).

Jiwa kemandirian, pesantren harus mampu mandiri dengan kekuatannnya sendiri.

Jiwa Bebas, bebas dalam membentuk jalan hidup dan menetukan masa depan dengan jiwa besar dan sikap optimis mengahadapi berbagai problematika hidup berdaqsarkan nilai-nilai ajaran Islam. Kebebasan jiwa pondok pesantren juga berarti tidak terpengaruh dan didikte oleh dunia luar.


BAB V

SISTEM KEORGANISASIAN NU

A. KEPENGURUSAN NU

Kepengurusan NU terdiri dari tiga bagian, yaitu ;

Mutasyar; Penasehat yang secara kolektif memberikan nasehat kepada pengurus NU menurut tingkatannya dalam rangka menjaga kemurnian, khothah nahdliyah, agama, dan menyelesaikan persengketaan.

Syuriyah; merupakan pemimpin tertinggi NU yang berfungsi pemembina, pengendali, pengawas, dan penetu kebijakan dalam usaha mewujudkan tujuan organisasi. Tanfidziyah.

Tanfidziyah; pelaksana harian organisasi NU yang bertugas :

  • – Memimipin jalanya organisasi
  • – Melaksanakan program NU
  • – Memahami dan mengawasi kegiatan semua perangkat organisasi dibawahnya.
  • – Menyampaikan laporan secara pereodik kepada syuriyah tentang pelaksanaan tugas.


B. TINGKAT KEPENGURUSAN

1. Pengurus Besar NU (PBNU)

Pengurus besar adalah kepengurusan NU ditingkat pusat dan berkedudukan di Ibu kota negara Indonesia. Pengurus besar merupakan penganggung jawab kebijakan dalam pengendalian organisasi dan pelaksanaan keputusan muktamar.

2. Pengurus Wilayah NU (PWNU)

Pengurus Wilayah adalah kepengurusan ditingkat Porpinsi yang berkedudukan di Ibu kota Propinsi.

3. Pengurus Cabang NU (PCNU)

Pengurus Cabang adalah kepengurusan U ditingkat kabupaten/kota yang berkedudukan ditingkat kabupaten

4. Pengurus Majlis Wakil Cabang (MWCNU)

Pengurus MWC adalah kepengurusan ditingkat kecamatan atau daerah yang disamakan

5. Pengurus Ranting NU (PRNU)

Pengurus Ranting ialah kepengurusan NU ditingkat Desa/Kleurahan atau daerah yang disamakan.


C. SISTEM PERMUSYAWARATAN

Lembaga permusyawaratan NU meliputi :

1. Muktamar

Lembaga permusyawaratan tertinggi dalam NU, diadakan selambat-lambatnya sekali dalam lima tahun, dilaksanakan oleh PBNU yang dihadiri oleh Pengurus Besar, Pengurus Wilayah, dan Pengurus Cabang seluruh Indonesia, serta para ulama dan undangan dari tenaga ahlu yang berkompeten. Muktamar membahas persoalan-persoalan sosial dan agama, program pembangunan NU, laporan pertanggungjawaban Pengurus Besar, menetaptkan AD/ART, serta memilih penguru PBNU yang baru

2. Musyawarah Nasional alim Ulama

Musyawarah alim ulama adalah musyawarah yang diselenggarakan para alim ulama oleh Pengurus Besar Syuriyah, satu kali dalam satu pereode untuk membahas masalah-masalah agama.

3. Konfensi Besar

Konfrensi Besar dilaksanakan oleh pengurus Besar atas permintaan sekurang-kurangnya separoh dari jumlah pengurus Wilayah yang sah. Konfrensi Besar dilaksanakan untuk membahas keputusan muktamar, mengkaji perkembangan organisasi, dan membahas social keagamaan.

4. Konfrensi Wilayah

Konfrensi Wilayah dilaksanakan lima tahun sekali yang dihadiri pengurus wilayah dan utusan-utusan cabang untuk membahas pertanggungjawaban pengurus Wilayah, menyusun program kerja, membahas masalah keagamaan dan social, serta memilih pengurus PWNU yang baru.

5. Konfrensi Cabang

Konfrensi Cabang dilaksanakan lima tahun sekali yang dihadiri pengurus Cabang dan utusan dari Pengurus MWC dan Ranting untuk membahas pertanggungjawaban pengurus Cabang menyusun program kerja, membahas masalah keagamaan dan social, serta memilih PCNU yang baru.

6. Konfrensi Majlis Wakil Cabang

Konfrensi MWC lima tahun sekali yang dihadiri pengurus MWC dan ranting, untuk membahas pertanggungjawaban pengurus MWC, menyusun program kerja, membahas masalah keagamaan dan social, serta memilih pengurus MWC yang baru.

7. Rapat anggota

Rapat anggota dilaksanakan lima tahun sekali yang dihadiri pengurus ranting untuk membahas pertanggungjawaban pengurus Ranting, menyusun program kerja, membahas masalah keagamaan dan social, serta memilih pengurus PRNU yang baru.


D. PERANGKAT ORGANISASI NU

1. Lembaga

Perangkat organisasi yang berfungsi pelaksana kebijakan NU yang berkaitan dengan satu bidang tertentu.

Adapun lembaga-lembaga NU meliputi :

  • – Lembaga Dakwah NU (LDNU)
  • – Lembaga Pendidikan Ma’arif NU (LP Ma’arif NU)
  • – Lembaga Sosial Mabarut NU (LSMNU)
  • – Lembaga Perekonomian NU (LPNU)
  • – Lembaga Pembangunan dan Pengembangan Pertanian (LP2NU)
  • – Rabithah Ma’ahid al Islamiah (RMI); Pengembangan bidang Pondok Pesantren
  • – Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU (LKKNU)
  • – Ha’iyah Ta’miril Masjid Indonesia (HTMI)
  • – Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LAKPESDAM)
  • – Lembaga Seni Budaya NU (LSBNU)
  • – Lembaga Pengembangan Tenaga Kerja NU (LPTKNU)
  • – Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum NU (LPBHNU)
  • – Lembaga Pencak Silat (LPS)
  • – Jam’yyah Qura wal Huffadz (JQH): Bidang Pengembanga Tilawah, Metode pengajaran dan penghafalan Al-qur’an.


2. Lajnah

Perangkat Organisasi NU untuk melaksanakan program yang memerlukan penanganan khusus. Lajnah NU meliputi:

– Lajnah Falakiyah: bertugas menangani Hisab dan Ru’yah

– Lajnah Ta’lif wa Nasyr: bertugas menangani penerjemah, penyusunan, dan penyebaran kitab-kitab.

– Lajnah Auqaf: bertugas menghimpun, mengurus, dan mengelola tanah serta bangunan yang diwaqafkan.

– Lajnah Zakat Infaq dan Shodaqoh: bertugas menghimpun, mengelola, dan mentsharafkan zakat, infaq dan sedekah.

– Lajnah Bahtul Masail Diniyah: bertugas menghimpun, membahas, dan memecahkan masalah-masalah yang maudlu’iyah dan waq’iyah yang segera mendapatkan kepastian hukum.

Badan Otonam

Perangkat organisasi NUyang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu, dan beranggotakan perseorangan. Badan otonom berhak mengatur kepengurusan dan rumah tangganya sendiri yang ditetapkan melalui kongres.

Badan Otonom dalam NU adalah:

– Jam’iyah Ahlit Thariqah Al Mu’tabarah An Nahdliyah, Badan Otonom yang menghimpun pengikut thariqah di lingkungan NU

– Muslimat NU: Badan Otonom yang menghimpun anggota perempusn NU

– Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor): Badan Otonom yang menghimpun pemuda NU.

– Ikatan putra NU (IPNU): Badan Otonom yang menghimpun pelajar dan santri laki-laki.

– Ikatan Putra-putri NU (IPPNU): Badan Otonom yang menghimpun pelajar dan santri perempuan.

– Ikatan Sarjana NU (ISNU): Badan Otonom yang menghimpun para sarjana dan kaum intelek NU.


E. KEANGGOTAAN NU

Keanggotaan NU dapat diklasifikasi menjadi :

1. Anggota Biasa

Setiap warga Negara Indonesia yang beragama Islam yang beragama Islam, menganut salah satu madzhab empat, baligh, mengetahui aqidah, asas, tujuan, usaha-usaha, dan sanggup melaksanakan semua keputusan NU.

2. Anggota luar Biasa

Setiap orang beragama Islam, baliq, menyetujui akidah, asas, tujuan, usaha-usaha NU, namun yang bersangkutan berdomisili secara tetap di luar wilayah Indonesia.

3. Anggota Kehormatan

Setiap orang yang bukan anggota biasa atau luar biasa yang dianggap telah berjasa kepada NU dan ditetapkan dalam keputusan pengurus besar.

BAB VI

PERANAN NU DALAM DINAMIKA SEJARAH INDONESIA

1. NU PADA MASA PENJAJAHAN BELANDA

Pada awal pereode berdirinya, NU lebih mengutamakan pembentukan persatuan dikalangan umat Islam untuk melawan colonial belanda. Untuk mempersatukan umat islam, KH. Hasyim As’ary melontarkan ajakan untuk bersatu dan menhajukan prilaku moderat. Hal ini diwujudkan dalam sebuah konfederasi, Majlis Islam A’la Indonesia(MIAI) yang dibentuk pada tahun 1937.

Perjuangan NU diarahkan pada dua sasaran, yaitu : Pertama, NU mengarahkan perjuanganya pada upaya memperkuat aqidah dan amal ibadah ala ASWAJA disertai pengembangan persepsi keagamaan, terutama dalam masalah social, pendidikan, dan ekonomi. Kedua; Perjuangan NU diarahkan kepada kolonialisme Belanda dengan pola perjuangan yang bersifat cultural untuk mencapai kemerdekaan.

Selain itu, sebagai organisasi social keagamaan NU bersikap tegas terhadap kebijakan colonial Balanda yang merugikan agama dan umat Islam. Misalnya : NU menolak berpartisipasi dalam Milisia (wajib militer), menetang undang-undang perkawinan, masuk dalam lembaga semu Volksraad, dan lain-lain.

2. NU PADA MASA PENJAJAHAN JEPANG

Pada masa penjajahan Jepang semua organisasi pergerakan nasional dibekukan dan melarang seluruh aktivitasnya, termasuk NU. Bahkan KH. Hastim Asy’ary (Rois Akbar) dipenjarakan karena menolak penghormatan kaisar Jepang dengan cara membungkukkan badan ke arah timur pada waktu-waktu tertentu.

Mengantisipasi prilaku Jepang, NU melakukan serangkaian pembembenahan. Untuk urusan ke dalam diserahkan kepada KH. Nahrowi Thohir sedangkan urusan keluar dipercayakan kepada KH. Wahid Hasyim dan KH. Wahab Hasbullah. Program perjuangan diarahkan untuk memenuhi tiga sasaran utama, yaitu :

Menyelamatkan aqidah Islam dari faham Sintoisme, terutama ajaran Shikerei yang dipaksakan oleh Jepang.

Menanggulangi krisis ekonomi sebagai akibat perang Asia Timur

Bekerjasama dengan seluruh komponen Pergerakan Nasional untuk melepaskan diri dari segala bentuk penjajahan.

Setelah itu, Jepang menyadari kesalahanya memperlakukan umat Islam dengan tidak adil. Beberapa organisasi Islam kemudian dicairkan pembekuanya. Untuk menggalang persatuan, pada bulan Oktober 1943 dibentuk federasi antar organisasi Islam yang diberi nama Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI). Pada bulan Agustus 1944 dibentuk Shumubu(Kantor Urusan Agama) untuk tingkat pusat, dan Shumuka untuk tingkat daerah.

3. NU PADA MASA KEMERDEKAAN

Pada tanggal 7 September 1944 Jepang mengalami kekalahan perang Asia Timur, sehingga pemerintah jepang akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Untuk itu dibentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). BPUPKI berangggotakan 62 orang yang diantaranya adalah tokoh NU (KH. Wahid Hasyim dan KH. Masykur).

Materi pokok dalam diskusi-diskusi BPUPKI ialah tentang dasar dan bentuk Negara. Begitu rumitnya pembahasan tentang dasar dan falsafah Negara makadi sepakati dibentuk “Panitia Sembilan”. Dalam panitia kecil ini NU diwakili oleh KH. Wahid Hasyim, hasilnya disepakati pada dasar Negara mengenai “Ketuhanan” ditambah dengan kalimat “Dengan kewajiaban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluknya”. Keputusan ini dikenal dengan “Piagam Jakarta”.

Sehari setelah Indonesia merdeka, Moh Hatta memanggil empat tokoh muslim untuk menanggapi usulan keberatan masyarkat non muslim tentang dimuatnya Piagam Jakarta dalam pembukaan UUD 1945. Demi menjaga keutuhan dan kesatuan bangsa, KH. Wahid Hasyim mengusulkan agar Piagam Jakarta diganti dengan “Ketuhanan yang Maha Esa”. Kata “Esa” berarti keesaan Tuhan (Tauhid) yang ada hanya dalam agama Islam, dan usul ini diterima.

Pada 16 September 1945 tentara Belanda (NICA) tiba kembali di Indonesia dengan tujuan ingin kembali menguasai Indonesia. Melihat ancaman tersebut, NU segera mengundang para utusan dan pengurus seluruh Jawa dan madura dalam sidang Pleno Pengurus Besar pada 22 Oktober 1945. Pada rapat tersebut dikeluarkan “Resulusi Jihad” yang secara garis besar berisi :

Kemerdekaqan Indonesia wajib dipertahankan

Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah wajib dibela dan diselamatkan.

Musuh RI , terutama Belanda pasti akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia.

Umat Islam terutama warga NU wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawanya yang hendak kembali menjajah Indonesia.

Kewajiban Jihad tersebut adalah suatu jihad yang menjadi kewajiban bagi setiap muslim (Hukumnya fardlu ‘Ain).

Resulusi Jihad ini benar-benar menjadi inspirasi bagi berkobarnya semangat juang Arek-Arek Surabaya dalamperistiwa 10 November 1945 yang dikenal dengan”Hari Pahlawan”.

4. NU DALAM MENGISI KEMERDEKAAN

Setelah Proklamasi kemerdekaan, hamper semua organisasi Islam sepakat menjadikan MASYUMI sebagai partai politik, termasuk NU. Namun pada tahun 1950 NU memutuska untuk keluar dari MASYUMI karena terjadi konflik intern. Pada Muktamar NU ke -19 di Palembang 1952 memutuskan menjadi Partai Politik, dengan demikian NU memasuki dunia politik secara otonom dan terlubat langsung dalam persoalan-persoalan Negara. Untuk melapangkan jalan di dunia polotik, NU masuk dalam kabinet Ali Sastro Amijoyo, seperti KH. Zainul arifin (wakil perdana mentri), KH.Masykur (menteri Agama), begitu pula dengan susunan kabinet yang lain .Pada tahun 1955 diadakan pemilu yang pertama diIndonesia, NU mampu meraih suara terbanyak ketiga setelah PNI dan PKI. Hal ini tidak lepas dari peran Kyai dan Pesantren sebagai kekuatan pokok NU.

Pada pereode 1960-1966 NU tampil menjadi kekuatan yang melawan komunisme, hal ini dilakukan dengan membentuk beberapa organisasi, seperti : Banser (Barisan Ansor Serba Guna), Lesbumi (lembaga Seni Budaya Muslim), Pertanu (Persatuan Petani NU), dan lain-lain. Pada tanggal 5 Oktober 1965 NU menuntut pembubaran PKI .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar